Mebel Jepara krisis

Trackers 08.11 No Comment

LENSAINDONESIA.COM: Guna mengatasi krisis bahan baku,  para perajin mebel di Kabupaten Semenep, selama ini telah memanfaatkan sebagian hasil hutan rakyat untuk menenam pohon jati.
“Sebagian tanaman kayu di hutan rakyat di Sumenep memang cocok sebagai bahan baku usaha mebel. Sehingga, wajar jika perajin mebel termasuk pemanfaat hasil hutan rakyat,” ujar Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Sumenep, Ismail, Minggu (12/8/2012).
Baca juga: Polres Sumenep Waspadai Masuknya Teroris di Wilayah Kepulauan dan Enam ABK Asal Sumenep Dilaporkan Hilang
Kalau di lihat dari tempatnya, kata dia, hutan rakyat sebenarnya dibagi tiga, yakni di lahan berupa pekarangan (dekat rumah atau pemukiman), tegalan (terpisah dari rumah), dan tanah kurang subur atau kritis.
“Untuk sementara, kami hanya memiliki data tentang luas hutan rakyat yang berada di lahan kurang subur atau kritis. Luas secara keseluruhan sekitar 8.673,6 hektare,” ucapnya.
Sesuai hasil pendataan oleh staf Dishutbun Sumenep, tanaman kayu di hutan rakyat setempat bisa digolongkan menjadi lima jenis, yakni akasia, jati, mahoni, nyamplong, dan pohon lainnya.
Luas hutan rakyat yang tanamannya adalah akasia sekitar 3.485,4 hektare, jati seluas 1.930,6 hektare, dan mahoni seluas 2.307,3 hektare.
“Sementara nyamplong seluas 62,5 hektare, dan pohon lainnya seluas 887,8 hektare. Pemanfaat terbesar akasia dan jati hasil hutan rakyat itu adalah perajin mebel,” tukasnya.
Ismail menjelaskan, perajin mebel yang modalnya besar biasanya membeli jati hasil hutan milik Perhutani, melalui proses lelang.
“Namun, mereka tetap membeli jati hasil hutan rakyat, jika stok jatinya yang dari Perhutani sudah habis atau menipis. Artinya, hasil hutan rakyat tetap menjadi komoditas yang dibutuhkan, utamanya oleh perajin mebel yang modalnya terbatas,” ujarnya.
Ia menduga sebagian perajin mebel memiliki lahan yang khusus ditanami jati maupun akasia sebagai cadangan bahan baku untuk keberlangsungan usahanya.
“Sebagian hutan rakyat yang terdata di kami, bisa saja merupakan milik perajin mebel,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, pihaknya memperkirakan permintaan atas hasil hutan rakyat, utamanya akasia, akan semakin meningkat pada masa mendatang, karena harganya yang lebih murah dibanding jati.
“Saat ini, perajin mebel di Sumenep mulai melirik akasia sebagai bahan baku usahanya. Ini tentunya akan membuat permintaan akasia semakin meningkat,” tukasnya.
Ismail menjelaskan, pohon akasia juga lebih cepat bisa diolah sebagai bahan baku mebel, dibanding jati.
“Pohon akasia yang berumur minimal tujuh tahun, sudah bagus dan layak untuk dijadikan bahan baku mebel, sementara jati harus di atas 20 tahun. Itu hitung-hitungan secara ideal,” katanya.
Tanam Jati
Perajin mebel di Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, juga mengakui, sejak beberapa tahun lalu, akasia lebih sering digunakan sebagai bahan baku usahanya.
“Sejak 2000 lalu, kami tidak lagi begitu mudah memperoleh jati dari Perhutani melalui proses lelang. Sehingga, demi keberlangsungan dan kelancaran usaha mebel, kami juga menggunakan akasia sebagai bahan baku,” kata Bagian Pemasaran UD Barokah, Abrari.
Saat ini, kata dia, pihaknya hanya membuat mebel dari jati, jika ada pesanan dari konsumen.
“Kalau yang dijual sehari-hari atau untuk stok barang, kami sudah lebih sering membuat mebel dari akasia. Selain harganya mahal, jati sulit diperoleh,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sejak 2000 lalu, pihaknya mulai menanam pohon jati emas dan hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 10.000 batang.
“Mebel ini merupakan mata pencaharian kami. Sehingga, kami harus berusaha mempertahankannya hingga kapan pun. Untuk menyiasati kesulitan memperoleh jati yang sudah mulai terasa sejak 2000 lalu, kami menilai perlu untuk menanam pohon jati (emas) sendiri,” tukasnya.
Keinginan untuk menanam pohon jati sendiri, itu, memang berawal dari semakin sulitnya memperoleh jati, baik dari Perhutani melalui proses lelang sejak 2000 lalu maupun dari hutan rakyat melalui pembelian langsung kepada pemiliknya.
“Kalau kebetulan ada pesanan membuat mebel dari jati, kami harus ‘blusukan’ dari satu kampung ke kampung lainnya untuk mencari pohon jati yang cocok. Kadang butuh waktu lebih sehari untuk mencari jati yang layak diolah menjadi bahan baku mebel,” paparnya.
Abrari mengatakan, harga mebel dengan bahan baku jati memang lebih mahal dibanding kayu lainnya, seperti akasia.
“Mebel dari kayu akasia itu bisa lebih murah pada kisaran 25 persen hingga 50 persen dibanding jati. Saat ini pun, sebagian konsumen juga tidak terlalu fanatik ke jati, ketika akan membeli mebel,” katanya.
Sementara Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumenep, Agus Eka Hariyadi menjelaskan, saat ini, perajin mebel setempat lebih cenderung menggunakan kayu lokal atau yang berasal dari hutan rakyat.
“Kondisi itu membuat permintaan atas hasil hutan rakyat akan meningkat. Sesuai hasil pemantauan yang kami lakukan, kayu yang sering digunakan perajin mebel saat ini adalah akasia,” ujarnya.
Penyebab perajin mebel lebih memanfaatkan akasia sebagai bahan baku, kata dia, diduga akibat jati agak sulit diperoleh dan harganya yang mahal.
“Saat ini, perajin tidak begitu memaksakan diri membuat mebel dari kayu jati, jika tidak ada pesanan sebelumnya,” ucapnya.
Potensi meningkatnya permintaan atas hasil hutan rakyat pada masa mendatang, sudah disadari oleh Dishutbun Sumenep.
Kepala Bidang Kehutanan Dishutbun Sumenep, Ismail menjelaskan, sejak beberapa tahun lalu, pihaknya mewajibkan warga untuk lebih dulu menanam lima pohon, sebelum menebang satu pohon.
“Kami ingin menjaga keseimbangan jumlah tanaman berkayu di areal hutan rakyat. Namun, kami memang agak kesulitan untuk melakukan pengawasan secara maksimal, karena keterbatasan personel. Apalagi, tanaman kayu di hutan rakyat itu memang milik warga,” ujarnya. @LI-13/ant

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !